Ikhtiar Lestarikan Kain Pinawetengan

Ikhtiar Lestarikan Kain Pinawetengan

Dari sekian banyak wastra tradisional Indonesia, nama kain Pinawetengan mungkin tidak terdengar akrab. Wastra ini merupakan kain tenun asli Minahasa, yang memang sudah sangat jarang kita temui. Kain Pinawetengan dahulu kala dikenal karena corak aslinya yang berupa corak guratan batu di situs budaya Watu Pinawetengan, Sulawesi Utara, dan ternyata kain ini sempat punah.  Sampai saat ini konon hanya ada satu lembar wastra dari Minahasa yang ada di Indonesia, di Museum Nasional, sementara ada dua lembar kain lainnya di Tropen Museum, Amsterdam, Belanda.

Pada awalnya, masyarakat Minahasa memiliki dua jenis wastra tradisional yang dikenal dengan kain Bentenan (bukan kain merek Bentenan) dan Kain Pinatikan. Namun kedua kain ini sejak sekitar 100 tahun lalu sudah tidak diproduksi lagi dan tidak digunakan lagi oleh masyarakat setempat.

Jika melihat foto-foto kuno yang ada (circa 1920-an), wanita Minahasa pada saat itu sudah mengenakan kain batik sebagai sarung berpadan kebaya renda atau kebaya encim sebagai atasan. Sementara para pria sudah mengenakan stelan jas seperti layaknya para pria Barat/Belanda pada umumnya.

Kekosongan kain tradisional ini berlangsung hingga tahun 2000-an sampai Yayasan Institut Seni dan Budaya Sulawesi Utara di bawah pimpinan Irjen. Pol. (purn) Benny Mamoto berinisiatif untuk mengembangkan kain yang mempunyai ciri khas Minahasa dengan berlandaskan kearifan lokal budaya Minahasa. Pada awalnya kain yang dibuat dalam bentuk print dengan mengangkat corak-corak dan guratan yang tertera di situs budaya Watu Pinawetengan. Situs ini diperkirakan berusia sekitar 2000 tahun, namun baru ditemukan sejak tahun 1888.

Iyarita Mamoto, Benny Mamoto dan Denny Malik 

Pada awalnya Kain Pinawetengan hanya memproduksi kain-kain bermotif yang ada di Watu Pinawetengan dalam bentuk cetak (print). Ditampilkan dengan berbagai warna khas Minahasa, warna-warna mencolok. Tak berhenti sampai di situ kain print ini pun dikembangkan lagi dalam berbagai motif. Terdapat corak bunga cengkeh, dan motif aneka binatang bahari, karena Minahasa terkenal akan biota laut yang sangat kaya, serta masih banyak lagi.

Kemudian pada tahun 2007, Kain Pinawetengan mengembangkan produknya menjadi aneka jenis kain dengan teknik pembuatan yang lebih tradisional. Mengembangkan tenun ikat dengan corak-corak tradisional khas Minahasa. Para perajin yang membuat kain jenis ini merupakan staf Wale Tenun yang merupakah bagian dari Yayasan Institut Seni dan Budaya Sulawesi Utara. Setelah itu, Kain Pinawetengan mengembangkan tenun songket yang ragam motifnya pun masih diambil dari berbagai motif tradisional khas Minahasa.

Patut dicatat bahwa Kain Pinawetengan telah dipatenkan dan telah tercatat dalam Guiness Book of Record yang diakui sebagai tenun songket terpanjang di dunia. Panjang kain mencapai 101 meter dan tanpa sambungan.

Meskipun kemudian tenun ikat dan tenun songket Kain Pinawetengan sudah mulai banyak dikenakan oleh berbagai khalayak, karena mendapat sentuhan perancang mode (kala itu, Thomas Sigar) yang menangani rancangan busananya, namun harga kain ini terbilang tinggi, karena teknik pembuatan kain yang rumit dan memakan waktu lama. Harga yang mahal tidak bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Rumah Kain Pinawetengan

KAWAN dipilih menjadi tajuk untuk peresmian Rumah Kain Pinawetengan dan menggambarkan pertemanan (sejak 2009) antara Denny Malik, yang menggarap kreasi busana siap pakai Kain Pinawetengan, dengan pemilik Rumah Kain Pinawetengan, Iyarita Mamoto.


Denny acapkali berperan sebagai koreografer, bahkan sejak pertama kali Kain Pinawetengan diperkenalkan dalam peragaan busana pada 2009. Untuk menggambarkan pertemanan persembahan kali ini, bukan hanya para peraga yang merupakan kawan-kawan Denny, tapi juga semua para pekerja di balik panggung. Pendek kata pertemanan merupakan unsur yang membangun inspirasi, imajinasi, kreatifitas, serta kekompakan seluruh tim kerja di Rumah Kain Pinawetengan. Pertemanan menjadi lengkap saat grup vokal “PRIA” merilis album terkininya yang berjudul “Kawan”.

Sederet pesohor dan teman-teman Denny Malik sesama penari juga memperagakan koleksi busana dengan kain Pinawetengan, baik yang masih berupa kain songket maupun busana siap pakai dengan kain print corak Pinawetengan. 

  

  

Di rumah kain Pinawetengan, Humble House – Jakarta, pengunjung dapat menikmati beragam kain tenun hasil karya para pengrajin di Wale Tenun Pa’Dior (nama Pusat Kebudayaan Sulawesi Utara). Beragam pula aneka tenun ikat yang dibuat dengan tangan yang memakan waktu pengerjaan hingga dua bulan (tergantung kesulitan) untuk satu lembar kainnya. Selembar kain memiliki panjang sekitar 2,5 meter hingga empat meter.

Selain itu terdapat pula aneka tenun songket dengan warna-warna lebih mencolok dengan corak-corak khas Minahasa. Setiap lembar berukuran sekitar 2,25 – 2,50 meter. Harga rata-rata kain tenun ikat, Rp.1 juta per meter. Untuk tenun songket berharga Rp. 3,5 juta per lembar. Sedangkan kain print dihargai antara Rp. 90.000 per meter hingga Rp. 150.000,- per meter.


See also:
-- Your Everyday Staple Fashion Item; Sarung! -- Bin House & Iwan Tirta Private Collection di Hari 1 Plaza Indonesia Fashion Week -- Re-Branding, Bagaimana Tampilan Dian Pelangi Kini? -- Pesona Kain & Tanah Flores dalam Creative Show 'Nian Tana' --

Tags

please login to comment.

RELATED ARTICLES

'Opera' Pra Kemerdekaan yang Penuh Tawa

'Opera' Pra Kemerdekaan yang Penuh Tawa

READ MORE
Memperkuat Ekosistem Kain Ulos Sebagai Warisan Budaya Tinggi

Memperkuat Ekosistem Kain Ulos Sebagai Warisan Budaya Tinggi

Toba Tenun berbagi cerita optimisme dan konsistenti melestarikan warisan tenun Batak (Ulos) sebagai warisan budaya tinggi dan potensi kekayaan tekstil Nusantara. Perkuat ekosistem Ulos dengan mengedepankan 3 program kerja utama; pelestarian, pelatiha...

READ MORE