'Opera' Pra Kemerdekaan yang Penuh Tawa
By ketupatkartini - Aug 10, 2016
Membaca Tajuk Doea Tanda Tjinta garapan Indonesia Kita awalnya mengesankan sebuah kisah kilas balik sejarah Indonesia yang penuh nuansa perjuangan kemerdekaan. Rupanya salah jika berekspektasi serius, karena pertunjukan ini ternyata menghadirkan hiburan menyegarkan mata dan mengocok perut dengan tawa dari awal hingga akhir cerita.
Bagi yang pernah atau akrab dengan pertunjukan garapan Indonesia Kita, atau karya 'maestro' Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto, tentu paham gaya yang akan mereka tampilkan pada setiap panggungnya. Tetapi bagi yang baru pertama kali, dijamin ketagihan karena apa yang mereka sajikan selalu bertema Indonesia banget, dengan 'bungkus' dan pemeran yang kekinian. Begitu pula dengan Doea Tanda Tjinta yang dipentaskan pada dua hari di akhir bulan Juli lalu. Tema keluarga dan kisah cinta ringan di deru masa Indonesia tempo doeloe dikemas dengan panggung bergaya opera. Tentu saja musik dan lagu menjadi garapan serius, tetapi tidak lantas menjadi dominan dan menguasai sepanjang waktu.
Musik bergaya keroncong dipilih untuk menguatkan nuansa pada era sebelum kemerdekaan, juga lagu-lagu lawas seperti Citra, Ojo Gelo, Maria Elena, Keroncong Pemuda Pemudi, dan Tanjung Perak. "Ini melodi jaman kemerdekaan dengan lagu-lagu eropa dan semangat rakyat sesuai Indonesia", tutur Djaduk sang penata musik dan pemimpin opera Sinten Remen yang mengaransemen kembali semua lagu-lagu tersebut. Setiap lagu memiliki kisah, keunikan dan tantangan sendiri, sekaligus secara apik dan menghibur dibawakan oleh tiga sosok hebat, maestro keroncong Subagyo HS, penyanyi keroncong Endah Laras dan pelantun seriosa Heny Janawati. Mereka bukan hanya menjadi penyanyi, tetapi juga menjadi bagian cerita.
Agus Noor menjadi tim kreatif dan penulis naskah sekaligus sutradara, peran sentral yang membuat pertunjukan ini mudah dicerna, dan sangat komedik. Ada seniman legendaris, Susilo Nugroho yang saya suka menyebut, Den Baguse Ngarso (nama ini akan selalu melekat padanya) yang sangat berkarakter kuat, menjadi tokoh meneer atau tuan Belanda. Marwoto juga berhasil mengimbangi dengan peran sebagai pedagang Tiongkok yang mempunyai putri diperankan oleh Olga Lydia.
Opera ini menghadirkan sosok seniman dan pelawak yang menjadi simbol masa kini, Cak Lontong dengan karakternya yang khas, wajah datar dan lontaran-lontaran lawakan berlogika absurd. Akbar menjadi partner setia yang selalu beradu argumen dan membangun percakapan dengan Cak Lontong. Keduanya menjadi kekuatan komedi segar yang tidak henti-hentinya mengocok perut penonton, seperti pada sebuah adegan ketika Akbar disuruh tuan besar untuk menjemput anaknya (Sinyo, diperankan cak Lontong) di Bandara. Akbar sebelumnya belum pernah bertemu dan lupa menanyakan nama sang anak. Kemudian ia ke bandara dengan membawa pickup signange bertuliskan. "Saya Menjemput Siapa?" di selembar kertas besar.
Akhirnya ia berhasil bertemu dan menjemput Sinyo anak sang tuan besar, dengan selamat. Kok bisa? Ternyata Sinyo pun saat mendarat sudah siap dengan kertas besar bertuliskan, "Saya Dijemput Siapa?". ;)
Meskipun berlatar jaman pra kemerdekaan, cerita dibuat agar memasukkan unsur-unsur kekinian, seperti saat Gareng dari Trio GAM (Guyonan Ala Mataraman) dalam satu adegan bermonolog dan menyinggung tentang menjadi independen tanpa berkumpul dengan teman-teman (partai). Ada pula adegan ketika Sinyo dan Akbar berjalan-jalan ke taman Batavia dan menemukan sebuah petunjuk jalan bertuliskan, Bekaasi (15), Buitenzorg (25) dan Kalijodo (150). Sinyo pun nyeletuk, "Oh itu ke Bekasi 15 kilo, ke Bogor (buitenzorg) 25 kilo, kalo yang Kalijodo ini tarifnya 150 :)))"
Ah, yang jelas saya dan semua penonton merasa puas dan sangat terhibur selama 2.5 jam pertunjukan. Sangat berkesan bagaimana mereka mengemas pesan-pesan keIndonesiaan dengan sarana yang menyenangkan dan menghibur. Sarat dengan budaya Indonesia yang memang sejak jaman dulu sudah erat dengan akulturasi dari budaya lain seperti China, Arab dan Eropa. Keberagaman adalah indah, dan inilah Indonesia.
See also:
--
FashionArt untuk Jakarta Fashion Trend 2022 --
Mempertanyakan Penonton dalam 'Drama Penonton' Festival Teater Jakarta 2019 --
Melihat 12 Karya Favorit Artjog 2018 --
Sosok Wanita Penting dalam Instalasi Art-Fashion L.tru --