Kapten John, Dari Lukisan Sutra ke Mural

Kagum dengan mural Cikapundung yang 'memberi kebahagiaan'? Perkenalkan Kapten John, sang seniman.

Kapten John, Dari Lukisan Sutra ke Mural

"John martono menciptakan campuran lukisan yang unik dengan sulaman tangan, Karya-karyanya telah membawa perspektif baru dalam seni rupa kontemporer dunia", begitu kata Kusuma Dewangga di laman www.johnmartono.com.

Helaian sutera memberikan hasil berbeda dibandingkan dengan lukisan di kanvas biasa. Gravitasi memberi efek berbeda pada cat ketika helaiannya adalah sutera. Bukan helaian kanvas pada umumnya, lho. Gravitasi menuntut kanvas sutera tidak diberdirikan. Harus diletakkan di bidang horizontal. Maka dari itu diperlukan kemampuan khusus guna melukis di atas helaian sutera.

Itulah cerita sang Kapten. 

Efek Helaian Sutra

Sutera sebagai media lukis belum banyak dieksplorasi. Ironis, padahal sutera adalah bahan seni berasal dari benua Asia. Kapten John, begitu banyak orang memanggilnya, sudah sepuluh tahun mengeksplorasi bahan sutera. Baik sintetis maupun alami. Sulit bagi Kapten John untuk menjauh dari serat yang telah memberi kontribusi karakter yang kuat pada rangkaian karya-karya terbarunya. Mengapa sutra bisa berefek begitu dahsyat? 

Pigmen cat meresap ke dalam pori-pori berukuran besar dari kain sutera. Sehingga kerapatan cat di helaiannya dapat dibentuk sedemikian rupa. Sebab, stroke warna pada sutra bergerak lebih bebas dan terkadang menghasilkan efek yang tidak dapat diprediksi. Dalam efek-efek yang tidak dapat diprediksi itulah Kapten John mengeksplorasi karya seninya. Dia terus mencoba. 

Eksplorasi proses kreatif dilaluinya dengan sukacita. Kapten John menjalaninya sembari mendengarkan musik blues. Musik favoritnya. Sebagaimana band beraliran musik Blues yang dia menjadi vokalisnya. InstiTutBlues. Disingkat ITB. Singkatan yang sama adalah kampus tempat dia menimba ilmu dulu dan sekaligus tempat dia mengajar seni tekstil sekarang ini. Dia menyebut musik blues sebagai "vitamin". Seperti vitamin yang sebenarnya. Esensial, tapi harus terbatas. Demi produktivitas. 


Masih kurang bila hanya mengandalkan tekstur sutra. Sulam tangan turut menekankan kedalaman karyanya. Helaian sutra yang sudah selesai dilukis, kemudian disulam kembali dengan benang tenun. "Ada efek-efek penekanan yang sengaja saya cari," katanya. Sehingga teksturnya lebih kaya. Gambarnya jadi lebih tajam. Asosiasinya pun berakhir lebih kuat. 

Dalam sebuah tulisan oleh Aminudin TH Siregar mengenai dirinya di lama johnmartono.com juga, "Keterkaitan benang pada permukaan berwarna dari sutra yang dicat dengan yang tidak dicat itu sendiri merupakan eksplorasi yang berani." Sehingga eksplorasi Kapten John berlanjut ke penambahan benang sulam pada lukisan helaian sutranya. 

Sulaman tangan ini juga menjadi ciri khas dari karya-karya Kapten John. Ciri khas inilah yang kemudian mengangkat namanya. Personal brand-nya turut mengerek harga-harga lukisannya. Sebab, Kapten John rajin mengikuti pameran-pameran berskala internasional. 

Ketika debut, dia langsung terlibat dalam pameran bertajuk Asian Fiber Art Exhibition di Korea Selatan (Korsel) pada 1995. Dia juga terlibat dalam pameran seni tekstil Contemporary Fiber Art Exhibition National Gallery di Jakarta pada 1996 dan Fiber Art Story di Bandung pada 1997. Tahun lalu saja, Kapten John ambil bagian dalam Affordable Art Fair di Singapura dan AS. Pada 2007, Kapten John ikut serta dalam The World Triennale Fiber Art. Ini adalah capaian tertinggi beliau.

Perspektif Berbeda 

Kita semua mengamati kehidupan sehari-hari. Namun seniman seperti Kapten John menyajikan perspektif yang berbeda. Kebanyakan di antara karya Kapten John adalah abstraksi. Yakni manifestasi bawah sadarnya sendiri. 

Kapten John membawa kita menjelajahi ruang tiga dimensi yang lebih luas dan dalam. Lebih daripada penampakan helaian suteranya sendiri. Dinamika terjadi dalam ruang kanvas yang disajikannya. Dalamnya volume abstraksi diwujudkan lewat berbagai lapisan warna. Terutama hitam dan putih.

Baginya, kedua warna dasar ini tidak termasuk warna populer yang digunakan para pelukis. Membersamai hitam dan putih, Kapten John menemukan kesenangannya sendiri. Dia terus mengeksplorasi dan mencatat kedalaman efeknya. 

Dari sutra ke mural

Sebuah karya seni haruslah dinikmati bersama-sama. Terbang dari imajinasi menuju realitas. Sebab, hakikat karya adalah di ruang nyata. Kapten John tidak ragu membersamai pengkaryaannya bersama orang lain. Bersikap toleran dalam kolaborasi yang unik. Di lain waktu, proses kreatif ini juga dia tawarkan sebagai proyek seni yang melibatkan masyarakat umum. 

Salah satunya mewujudkan mural di Teras Cikapundung. Adalah Cikapundung, sungai yang dipandangnya sebagai harkat kehidupan ber-masyarakat. Sungai baik hati yang memberi bagiannya kepada manusia. Sehingga di manapun sungai mengalir, manusia harus memeliharanya juga sebagai bagian dari hidupnya.

Bila tidak terjadi sinergi yang baik dengan sungai, itu artinya sudah tidak ada kehidupan. Sembari berkolaborasi, masyarakat harus mengingat kembali bahwasanya sungai memang diciptakan sebagai pusat kehidupan manusia. Terutama manusia-manusia yang dilalui oleh sungai tersebut.


Mengapa harus berkolaborasi?

Kapten John memandang kolaborasi adalah The Journey of Happiness. Perjalanan yang membahagiakan. Bukan meraih bahagia di tujuannya. Melainkan bahagia sejak dalam perjalanannya. Kolaborasi karyanya di Teras Cikapundung adalah salah satu perwujudannya menggali lebih dalam konsep-konsep mengenai The Journey of Happiness. Bagi Kapten John, hal-hal kecil bertabur kebahagiaan yang dilakukan untuk sesama seperti inilah yang tidak ternilai dan tidak pula dapat digantikan.

Berbagi dengan sesama itu ibarat melukis di kanvas. Pada awalnya semua akan melihatnya sebagai sapuan warna biasa. Namun ada teknik-teknik yang membuat corak tercipta. Dan itulah yang membuat kanvas hidup setiap orang menjadi semakin elok dan indah.

Satu saja harapannya. Orang akan mendapatkan inspirasi tertentu kala mengunjungi Teras Cikapundung. Sehingga ada harapan positif. Bagaimanapun juga, Teras Cikapundung tidak akan bertahan lama tanpa kepedulian dari diri kita sendiri.

Salah satu pesan yang diberikannya, "Teman sejati itu tidak mati. Kalau dia mati, maka dia akan mati dalam kesejatian."

Oiya, John Martono juga mengajar Seni Kriya di Institut Teknologi Bandung. kapten John adalah seorang dosen. Dia mencari, menemukan, dan berbagi kebahagiaan dengan para mahasiswanya.

See also:
-- MANIFESTO VIII: TRANSPOSISI -- Ekspresi 'Artsy' IKJ Graduation Show 2019 -- Kesegaran Art Jakarta Gardens 2022 -- Kapten John, Dari Lukisan Sutra ke Mural --

Tags

Seni   Artist   seniman   Mural   Bandung  
please login to comment.

RELATED ARTICLES

Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi

Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi

READ MORE
Arwin Hidayat dan Seni Lukis Batik

Arwin Hidayat dan Seni Lukis Batik

READ MORE